Rabu, 25 Agustus 2010

Iri Tanda Tak Mampu? –pepatah lama, BASI !-

Malam ke-16 ramadhan 1431 H, jam dua dini hari. Melihat bulan bulat sempurna menyinari kegelapan malam. Hanya lafazh-lafazh Tuhan yang dapat terucap dari bibir ini sebagai bentuk pengagunagn terhadap sang Pencipta. Di dalam keheningan, terpanjatlah seuntai doa kepada sang Penguasa. Duhai Tuhan, terimakasih telah Engkau pertemukan hamba kepada bulan yang mulia ini. Terimakasih karena Engkau telah memberikan kesempatan untuk hamba agar dapat mereguk nikmatnya pengabdian di jalan-Mu. Alhamdulillah.

Begitu banyak ucapan syukur yang saya panjatkan. Karena tidak ada hal lain yang dapat saya lakukan. Mengapa saya begitu suka cita? Karena saya rasa, Ramadhan ini begitu istimewa. Cukup berbeda dengan Ramadhan sebelum-sebelumnya. Kenapa istimewa?

  • Ramadhan tahun ini ga banyak bareng keluarga
  • Ramadhan tahun ini kegiatan saya cukup padat
  • Ramadhan tahun ini saya bertemu dengan hal-hal baru yang menantang
  • Ramadhan tahun ini, saya telah menjalin kembali tali silaturahmi yang sempat terputus

Mungkin saya bisa mencantumkan sederet alasan lainnya. Tapi, ada satu alasan yang paling kuat untuk mendorong saya terus memanjatkan syukur. Di Ramadhan tahun ini, saya dikumpulkan dengan orang-orang yang luar biasa. Orang-orang yang telah cukup sukses memprovokasi saya agar dapat memaksimalkan kembali amalan-amalan ibadah saya. Di sini, di lingkungan kampus ungu ini, suasana kompetitif merebut pahala yang di janjikan Tuhan begitu terasa. Saya merasa semua orang begitu bersemangat untuk dapat melaksanakan ibadah semaksimal mungkin. Meraup pahala-pahala yang menjadi berlipat ganda di bulan suci ini.

Ketika fenomena ini saya sadari, saya begitu tertegun. Tiba-tiba ada hal ganjil yang menyeruak di hati saya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi saya untuk mengartikan perasaan ganjil apa yang menjalari dada saya ini. Ini namanya perasaan iri. Iri sekali melihat mereka dengan semangat yang menggebu-gebu mengisi waktu di bulan suci ini. Iri sekali melihat mereka begitu mudah mendekati Tuhan. Iri sekali melihat mereka dengan mudahnya merayu Tuhan. Iri sekali melihat mereka mengartikan semua hela nafas yang mereka lakukan semata-mata hanya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Ya, kepada Tuhan.

Kepada Tuhan mereka.

Bukan, Dia, Tuhan saya juga.

Lalu, mengapa saya begitu iri?? Karena saya merasa tak mempunyai hubungan sedekat itu dengan sang Maha Pencipta. Detik pertama saya mengartikan rasa iri itu sesuai dengan frasa yang berkembang dikalangan orang banyak. Iri tanda tak mampu. Salama satu detik itu saya telah menghakimi diri saya tidak akan mampu menjadi dekat dengan Tuhan. Namun pada detik berikutnya, saya mendobrak penghakiman diri tersebut. Biarlah rasa iri itu sebagai kompor bagi saya untuk dapat melakukan jauh lebih hebat daripada yang mereka lakukan. Jika selama ini saya merasa jauh dari Tuhan, biarlah rasa iri itu membakar semangat saya untuk berlari lebih kencang mendekati Tuhan. Ternyata, pada kenyataannya, mengejar Tuhan bukanlah suatu hal yang melelahkan. Mengejar Tuhan merupakan suatu hal yang membahagiakan.

Pada akhirnya, di tengah perjalanan Ramadhan ini, saya ingin berterimakasih kepada semua orang yang telah memicu rasa iri itu berkembang di dada saya. Terimakasih karena telah menularkan semangat kompetisi ini kepada saya. Ayo kita terus berjuang! Perlombaan ini belumlah usai, berlomba-lomba dalam kebaikan. Siapakah yang akan jadi pemenangnya? Tidak ada yang tahu selain Tuhan. Tuhan saya, Tuhan kalian, Tuhan kita. Allah Azza Wa Jalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar